Please enable JS

NUTUK BEHAM: Perayaan Agar Ingatan Tidak Tenggelam

      Bunyi lesung bersahut-sahutan, suaranya memantul di seluruh kampung. Nampak puluhan orang yang terdiri dari orang tua, muda, laki dan perempuan berkumpul berada di atas Balai Adat. Mereka menghujamkan alu ke lesung, wadah yang terbuat dari kayu tempat beras ditumbuk berganti-gantian. Beras yang ditumbuk berasal dari padi muda yang mereka sebut ketan pulut, sebagian ketan putih, sebagian lagi ketan merah. Suasana balai ramai dengan ratusan warga yang datang ke pusat kegiatan kebudayaan itu.

      Kegiatan kebudayaan tersebut dikenal sebagai Nutuk Beham, Nutuk berarti menumbuk sedangkan beham berasal dari kalimat mbeham yang artinya memakan segenggam beras ketan atau ketan pulut. Caranya setengah dilemparkan ke dalam mulut untuk dimakan, ujar Murad (60 tahun), Kepala Adat Lawas, Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Nutuk beham adalah upacara atau ritual tiap masa panen tiba yang dijalankan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan, Semesta dan Leluhur, juga sebagai penebusan janji atau nazar para peladang kepada dewi padi atau Pantahun ketika mereka mengawali musim tanam sebelumnya. Prosesnya dimulai dengan merendam padi muda di sungai selama satu malam. Setelah ditiriskan, padi lalu disangrai dengan sedikit air sampai kering, tanpa minyak. Padi yang sudah disangrai kemudian didinginkan lalu di tumbuk lalu ditampih menggunakan alat saring tradisional yang biasa disebut nyiru atau dalam bahasa Kutai Adat lawas disebut Lewang. Laki-laki dan perempuan bekerjasama menjalankan proses tradisi ini.

      Kedang Ipil kini menjadi ibukota Kecamatan Kota Bangun Darat yang baru dimekarkan pada akhir tahun 2020. Menurut penuturan kepala desa Kedang Ipil, Kuspa (43 Tahun), jumlah penduduk Kedang Ipil saat ini sebanyak 450 Kepala Keluarga. Untuk sampai ke desa ini membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan darat dari Samarinda. Kedang Ipil adalah salah satu kampung tertua yang masih mempraktikkan adat yang disebut sebagai Kutai Adat Lawas di Kutai Kartanegara. Sebagai penjaga adat lawas, tiap upacara erau tiba, Kesultanan Kutai di Tenggarong mengandalkan para balian dan memanq atau perapal mantra dari kampung ini untuk membantu menyelenggarakan rangkaian ritual Erau di sana. Hal yang menunjukkan pentingnya komunitas Kedang Ipil dalam Kebudayaan Kutai saat ini.

      Menurut Sartin (51 Tahun), salah satu memanq dan tokoh Kutai Adat Lawas, terdapat legenda rakyat di balik ritual nutuk beham ini. Ia menceritakan “..dahulu kala rakyat kita pernah mengalami masa kemarau yang panjang, panen selalu gagal, rakyat mengalami krisis pangan. Sampai pada akhirnya dewata dan leluhur mengirimkan petunjuk melalui mimpi kepada satu keluarga, yang intinya ia harus mengorbankan anak perempuannya menjadikannya sebagai benih di tanah. Awalnya kedua orang tuanya merasa berat, namun anak perempuan itu mendengar kegundahan kedua orang tua dan masyarakat kala itu. Singkatnya, anak perempuan tersebut akhirnya bersedia berkorban. Setelah pengorbanan dilakukan, musim tanpa padi pun berhenti. Padi menguning dan masyarakat memanen hasilnya..,” urai Sartin.

      Menurut cerita Sartin, legenda itu juga menyebutkan bahwa sang anak perempuan yang sudah berkorban tadi berubah menjadi Pantahun atau Dewi Padi karena ketaatannya kepada Dewata dan karena telah menyelamatkan bangsanya dari krisis dan kepunahan. Sementara kedua orang tuanya diangkat Dewata ke Kayangan dan menjelma menjadi barisan bintang-bintang di atas langit yang selama ini juga dijadikan pedoman masyarakat Kedang Ipil saat menyusun kalender masa tanam dan berladang.

      “Karena itulah kami sangat menghormati padi dan Nutuk Beham. Bisa dikatakan padi atau beras adalah keluarga dan saudara kami sendiri karena kisah legenda itu. Maka itu memperlakukan padi atau beras harus seperti kita memperlakukan manusia atau saudara sendiri, ada sopan santunnya, misalnya ada larangan membuang makanan sembarangan karena kami percaya padi itu ada rohnya,” lanjut Sartin di sela-sela pelaksanaan upacara nutuk beham.

      Mayoritas masyarakat kampung Kedang Ipil adalah peladang atau petani. Mereka memiliki cara, metodologi dan siklus perladangan tersendiri yang sudah diwariskan turun temurun oleh para tetua, nenek moyang dan leluhur. Menurut Sartin, seperti dalam tuntunan legenda, untuk menentukan waktu terbaik memulai berladang mereka menggunakan pengetahuan membaca bintang. Saat menentukan lokasi atau tempat terbaik untuk membuka ladang, mereka bukan saja menelusuri hutan, namun juga melalui Tenung atau menerima petunjuk dari alam dan Pantahun yang berlangsung lewat mimpi. Karena itulah nutuk beham juga menjadi penanda relasi mereka dengan tanah dan ladang bukan sekedar relasi ekonomi belaka, namun juga hubungan yang bersifat spiritual.

      Sebelum tahun 2014, upacara nutuk beham masih dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap kelompok peladang. Namun setelah tahun 2014 hingga sekarang nutuk beham dilaksanakan dalam satu waktu dan serempak. Tiap keluarga peladang yang ikut menjadi penyelenggara menyumbangkan beberapa kaleng hasil panennya ditambah pitis atau uang. Semua disatukan lalu dikelola oleh panitia Nutuk Beham dan organisasi adat kampung beserta pemerintah desa. Menurut Murad (60 Tahun), tahun ini ada 31 orang yang ikut nutuk beham, berbeda dengan tahun lalu yang berjumlah 54 orang. Salah satu penyebabnya karena banyak tanaman yang terkena penyakit sehingga hasil panen berkurang.

      Saat ini bukan hanya hama dan penyakit yang dikhawatirkan oleh masyarakat peladang di Desa Kedang Ipil yang juga merupakan wilayah penghasil beras atau lumbung padi Kabupaten Kutai Kartanegara ini. Perluasan alih fungsi lahan demi pembangunan megaproyek ibukota baru yang akan menyasar ruang hidup mereka, maupun perluasan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup di sekitar wilayahnya juga mengundang kecemasan banyak warga. Limbah tambang batubara ilegal dan racun-racun yang digunakan pada aktivitas pembersihan lahan bagi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. ITCI Hutani Manunggal di hulu Sungai Kedang Ipil juga berpengaruh terhadap rusaknya kualitas air. “Kalau banjir keruh dan berlumpur airnya,” ujar Kuspa. Apalagi konsesi perusahaan ini sangat berdekatan dengan wilayah desa. Begitu juga jarak operasi tambang batubara ilegal yang hanya berjarak 5 kilometer sehingga tampak seperti etalase saat masuk menuju ke Desa ini.

      Kesaksian Lamsia―istri dari Murad, Kepala Adat Lawas Kedang Ipil―tentang sawahnya seluas satu hektar yang terkena limbah lumpur tambang batubara ilegal semakin menegaskan persoalan ini. “Saya tidak kerjakan lagi sawah. Sekarang panen dari ladang saja. Sawahnya kena batubara. Air lumpurnya masuk ke sawah,” ujar Lamsia saat menceritakan pengalamannya sejak tambang ilegal marak beroperasi di sekitar desa.

      Bagi masyarakat Kedang Ipil, sesungguhnya air yang bersih―terutama air sungai―bukan saja syarat utama bagi pengairan ladang dan sawah, tapi juga tak terpisahkan dari ritual nutuk beham. “Dalam prosesnya, beras muda yang sudah dipanen harus kami rendam dulu di air mengalir. Kami membuat tempat untuk meletakkan padi atau beras dalam banyak karung yang diletakkan di air Sungai Kedang Ipil untuk mencuci beras, biasanya 2-3 malam. Kemaren karena baru hujan dan akan banjir, kami tarik (angkat) duluan. Takut airnya makin keruh,” ujar Kuspa saat menceritakan bagaimana pentingnya sungai sebagai bagian dari prosesi nutuk beham.

      Kuspa lebih lanjut mengatakan bahwa sungai dan hutan di kedang ipil merupakan identitas historis Desa Kedang Ipil. “Kedang itu artinya sungai dan Ipil itu nama jenis pohon kayu yang khas di sini. Dulu biasa banyak ditemukan di sepanjang kampung atau sungai ini. Sekarang masih ada tapi sudah sangat jarang bisa ditemui. Kayu Ipil ini juga bagian perkakas ritual nutuk beham. Kayunya jadi bahan baku untuk lesung, selain yang terbuat dari (kayu) Ulin."

      Begitu juga dengan aren yang air dan gula arennya menjadi bagian akhir dari proses dalam mempersiapkan beham. Sebelum dimantrai oleh para memanq untuk disantap beramai-ramai, ketan yang sudah siap dicampur dengan gula aren agar berasa manis. Air aren yang disimpan dalam tabung-tabung bambu diperoleh dengan memanjat pohon-pohonnya di hutan sekitar kampung. Wisata air dan alam seperti air terjun Kandua dan Putang juga mengandalkan keindahan alami yang diberikan Dewata. Wisata air terjun ini juga telah ikut menggerakan ekonomi warga setempat, selain ekonomi pertanian dan kebudayaan.

      Rusaknya air sungai dan hutan dengan demikian akan mempengaruhi nutuk beham dan eksistensi kebudayaan Kutai Adat Lawas di Kedang Ipil di masa depan. Padahal, berdasarkan penuturan Sartin, karena hubungan dan kesetiaan masyarakat Kedang Ipil di masa lalu pada hutan, kampung dan penduduk Kedang Ipil mendapat gelar kehormatan dari Kesultanan Kutai pada zaman sebelum kemerdekaan sebagai Jogo wono diwongso atau Kampung Penjaga Hutan.

      Kini Kedang Ipil berjuang sendirian menjaga adat, tradisi, air, bahkan hutannya seperti pesan dan gelar penjaga hutan dahulu yang dilekatkan pada mereka. Di saat era kekuasaan Kesultanan dan kuasa raja-raja lama telah berlalu dan digantikan oleh kuasa negara, izin eksploitasi hutan, seperti PT. ITCI Hutani Manunggal, malah diobral dan menjadikan hutan sebagai petak-petak konsesi untuk menanam komoditi kayu industri. Keragaman kayu dan tanaman lokal seperti kayu Ipil pun menjelang punah secara perlahan.

      Sungai-sungai kini jadi tempat pembuangan racun dan limbah. Operasi tambang batubara ilegal bahkan merajalela dan sudah sampai di Desa Suka Bumi dan desa-desa tetangga Desa Kedang Ipil. Karena itu, bagi masyarakat Kedang Ipil, nutuk beham sesungguhnya adalah perayaan ingatan agar tradisi dan adat mereka tidak tenggelam digantikan raungan excavator dan mesin-mesin perambah hutan dan ladang.

*Artikel ini disusun oleh Regu Belajar Pengetahuan Tanding dan Metabolisme Sosial Ekologis Kalimantan, Merah Johansyah, Mustari Sihombing, Ongky Alexander Hermawan, Ahmad Fauzi, Ahmad Saini dan Windy Pranata.